Kemana Ku Harus Pulang?

Fristy Sato
8 min readMay 9, 2022

--

Photo by Kristina Tripkovic on Unsplash

Suatu hari saya menerima pesan WhatsApp dari salah satu kawan yang kata-katanya membuat saya tertegun. “Fris, gimana rasanya jauh dari rumah? Aku aja ga begitu jauh rasanya ga kuat kangen banget sama keluarga.” Jujur saya bingung harus menjawab apa karena saya sama sekali tidak merasa kangen atau apa. Kenapa kok saya ngga merasa kangen? Apa ada yang salah dengan saya?

Hari itu saya merenung sebentar, mencari apa yang sebenarnya saya rasa dari diri saya. Tapi nihil. Saya tidak menemukan apa-apa disana. Untuk apa saya kangen? Toh saya sudah hidup bebas dan bahagia di negara impian saya sejak kecil. Waktu itu saya baru pindah ke Jepang setelah menikah dengan suami. Saat itu hidup saya rasanya sempurna. Tinggal di negara impian, pemandangan di sekitar apartemen saya luar biasa indahnya kalau musim semi tiba. Bunga sakura bermekaran dimana-mana, tinggal dengan suami yang saya cintai yang karakternya juga nyambung dengan saya, setiap hari rasanya seperti honeymoon phase.

Saya aktif ikut berbagai macam kegiatan volunteer di ward office, ikut kelas bahasa Jepang, bergabung dengan komunitas orang asing disana, dan yang paling bikin saya happy saat itu adalah ketika saya bebas menjadi diri sendiri tanpa ada orang yang nyinyir.

Tapi setelah saya berpikir panjang, kayaknya memang ada yang salah dalam diri saya tapi karena saat itu saya merasa cukup dengan kehidupan saya, saya tidak berpikir lebih lanjut soal ini.

Satu tahun berlalu, tiba-tiba saya mengalami badai rumah tangga yang luar biasa hebat. Saya tidak akan membahas lebih dalam soal ini tapi dampaknya adalah saya hampir bercerai dengan suami. Dia sudah nekat ingin berpisah bahkan surat cerai pun sudah ditandatanganinya. Tinggal tanda tangan saya saja yang belum tertera di surat cerai itu. Saat itu saya panik. Selain takut kehilangan dan takut ditinggalkan, saya khawatir dengan masa depan saya. Saya tidak punya uang simpanan karena semua tabungan yang saya kumpulkan selama bekerja di Jakarta sudah saya transfer semua ke rekening ibu saya. Saya tidak punya pekerjaan. Belum lagi visa Jepang saya akan habis masa berlakunya dua bulan lagi.

Saya tidak punya teman yang bisa jadi tempat curhat saya kecuali ibu saya. Saat itu saya curhat dengan ibu saya. Saya percaya beliau bisa jadi tempat curhat yang aman bagi saya. Ya pada masa-masa kritis itu saya sempat tidak bisa berpikir apa-apa jadi saya tidak bisa memberikan respon yang benar saat itu. Sejujurnya saya kecewa berat setelah tahu ternyata ibu saya tidak bisa menjaga kepercayaan yang saya berikan padanya saat itu. Dia menceritakan masalah saya kepada orang lain. Salah satu kenalan saya yang bahkan dia tidak pernah bertemu langsung. Ironis nya saya baru tahu hal itu setelah ketemu kenalan saya itu di Osaka. Saya heran kenapa dia tiba-tiba bilang kalau dia tahu masalah saya. Ternyata ibu saya yang menceritakan hal yang harusnya jadi rahasia itu kepadanya. Saya marah dan kecewa saat itu tapi saya diam saja.

Kemudian saya kembali melakukan refleksi diri. Kata-kata apa yang saya terima saat itu? Ada beberapa yang saya ingat. Waktu itu disaat saya merasa desperate saya sempat berpikir ingin pulang ke Indonesia kalau saya memang harus bercerai. Tapi saat itu bukannya dukungan yang saya dapatkan tapi kata-kata ini yang terdengar oleh saya “Ya ngga apa-apa sih kalau kamu mau pulang, tapi tahu sendiri orang sini mulutnya gimana.” Saat itu saya ngga berpikir apa-apa tapi setelah mencerna kalimat ini. Kok kelihatannya ibu saya sendiri lebih peduli sama omongan orang lain daripada kondisi anaknya sendiri yang luntang luntung di negeri orang? Mungkin maksud beliau bukan begitu tapi itu yang tersampaikan kepada saya saat itu.

Satu hal pasti yang ada di benak saya adalah “Pulang ke Indonesia bukan pilihan.”

Kalaupun saya bercerai saya akan tetap stay di Jepang bagaimanapun caranya. Kerja mau kerja apa saja disini demi memperpanjang visa tinggal saya. Seolah belum cukup masalah saya, adik saya mengirim pesan WhatsApp yang isinya saya harus bayar biaya semester kuliahnya. Ingin rasanya saya teriak “CUKUP!” Kala itu batin saya hancur karena ketakutan akan kehilangan suami, perasaan kesepian, kecewa, capek, semua campur aduk. Rasanya saya tidak bisa bangun dari tempat tidur dan hanya bisa tidur dan menangis seharian. Tapi saya tahu kalau saya ngga bisa begini terus. Untungnya waktu itu ibu mertua saya sangat suportif. Beliau terbang langsung dari Fukuoka ke Yokohama hanya untuk bicara dengan saya. Beliau bilang apapun yang terjadi saya tetap bisa pulang ke Fukuoka kapanpun kalau saya mau. “Jangan takut soal uang, okaasan ada disini” ucap beliau. Ucapan beliau menjadi semangat bagi saya. Dengan mengumpulkan sisa-sisa energi, saya coba apply kerjaan kemana-mana. Tidak ada yang diterima. Hanya ada satu yang lolos yaitu kerja sebagai sales di salah satu toko sepatu di Tokyo. Gaji yang saya terima cukup untuk membiayai kuliah adik saya dan sebagai cadangan tabungan saya tapi tidak cukup untuk mendapatkan working visa di Jepang karena statusnya hanya sebagai part-time. Saya pun mencari tambahan lain dengan mengajar privat bahasa Inggris dan bahasa Indonesia kepada Japanese salary man yang berencana melakukan business trip ke Indonesia ataupun negara lain. Tetap saja hasil kerja serabutan saya belum cukup untuk hidup di Jepang sendirian.

Pada awal 2019 akhirnya saya dan suami pindah ke Osaka. Suami saya diterima di salah satu perusahaan Jerman yang berlokasi di Osaka. Saat itu status kami masih di ambang perceraian. Saya masih sibuk melamar kerja kesana kemari, tapi tetap saja tidak ada yang lolos. Semuanya hanya sampai pada tahap interview tapi setelahnya tidak pernah ada follow-up lagi. Entah sudah berapa rejection email yang saya terima. Sampai-sampai petugas Hello Work di ward office Osaka hapal dengan saya karena hampir setiap hari saya bolak-balik kesana untuk berkonsultasi soal pekerjaan ataupun melamar kerja.

kondisi pernikahan saya pun tak kunjung membaik begitupun kondisi kesehatan mental saya. Tapi saya tahu bahwa tidak ada yang bisa membantu saya saat itu. Bahkan keluarga terdekat sekalipun. Dan saya pun sudah bertekad kalau lebih baik saya serabutan kerja di Jepang daripada harus kembali ke rumah keluarga lagi. Tidak terbayang beban mental yang harus saya tanggung jika harus kembali kesana dalam kondisi janda dan tidak punya apa-apa. Belum lagi cibiran keluarga besar dan tetangga. Membayangkannya saja saya tidak kuat.

Tapi saya tidak punya waktu untuk pasrah. Karena saya tahu tidak ada yang bisa menolong saya saat itu. Bahkan keluarga sendiri. Saya sudah bertekad luar biasa bulat saat itu. Kalau saya sudah stuck usaha ini itu tapi masih ga bisa ya lebih baik saya resign aja dari dunia ini.

Sampai pada suatu hari saya ikut berbagai sesi meditasi di Osaka. Kesehatan mental saya mulai membaik. Pikiran saya pun seolah mulai kembali rasional. Benang kusut perlahan-lahan mulai terurai. Saya pun sudah bisa mengikhlaskan untuk melepaskan suami saya jika memang harus. Saya sadar bahwa kita tidak bisa memaksa orang lain untuk terus bersama dengan kita.

Tapi malah keesokan harinya, suami saya tiba-tiba datang ke saya, meminta maaf atas semuanya dan dia bilang kalau dia ingin memulai semuanya dari awal lagi. Jujur saya sangat lega saat itu. Walaupun saya tahu bahwa diperlukan banyak usaha untuk memperbaiki semuanya. Tapi kami sudah bertekad untuk memulai kembali dari awal jadi kami akan berusaha memperbaiki semuanya.

Keajaiban selanjutnya pun kembali terjadi. Saya mendapat pekerjaan di bidang IT. Bukan hanya sekedar pegawai biasa, tapi saya dipercaya memegang overseas department, sebagai manager. Tak lama kemudian saya pun mendapatkan pergantian visa menjadi Permanent Residence of Japan.

Namun sayangnya hubungan dengan keluarga saya masih renggang. Ya saya memang sejak dulu selalu merasakan bahwa saya adalah seorang yatim piatu sosial. Istilah ini saya dapat dari berbagai sumber yang artinya, seorang anak yang tidak bisa menjadikan orang tuanya sebagai safe space untuk sekedar berbicara atau bersosialisasi. Bagaimana dengan ayah saya? Wah, jangan ditanya. Beliau lebih tidak bisa diajak berkomunikasi daripada ibu.

Selain itu ada beberapa trigger luar biasa yang mengusik saya bahkan setelah pernikahan saya kembali membaik. Salah satunya adalah ketika saya kembali dibanding-bandingkan dengan kawan saya. “Itu si A katanya disekolahin sama suaminya di Singapore, mana katanya suamimu mau nyekolahin kamu?”

Is that the best thing you can ask to someone who almost lose her marriage?

Seriously I feel offended.

Kalaupun saya harus sekolah, saya ngga bakal mau disekolahin oleh suami saya. Untuk apa? saya kan perempuan berdaya. Saya bisa menyekolahkan diri saya sendiri. Saya bekerja dan saya punya kebanggaan tersendiri terhadap pekerjaan saya. Saya punya gaji sendiri, masa saya harus minta orang lain untuk bayar biaya kuliah saya? saya kuliah S1 full-beasiswa kok.

Bukan hanya itu,

Pada awal 2020 saya memutuskan untuk melepas jilbab karena saya beberapa kali mendapatkan diskriminasi parah disini. Mulai dari diteriakin teroris, hampir dilempar botol bir sama orang mabuk, dikatain abunai gaijin (orang asing berbahaya), dirasisin waktu saya cari kerja, kalau di bandara saya selalu dapet treatment khusus, dan banyak hal lainnya. Waktu itu memang di Jepang lagi marak Islamophobia akibat kasus pemenggalan jurnalis Jepang oleh anggota ISIS di Syria.

Selain alasan-alasan diatas, saya juga mendapatkan banyak insight dan mindset shifting dan saya merasa bahwa nilai hidup yang saya pegang tidak ada hubungannya dengan penampilan.

Tentu saja hal ini tidak saya beritahukan kepada keluarga karena saya tahu mereka pasti tidak akan bisa menerima keputusan hidup yang saya ambil.

Semua akun sosial media saya yang lama telah saya hapus. Namun suatu hari saya mendapatkan pesan WhatsApp yang sangat ngga mengenakkan. Padahal saat itu saya masih agak galau dengan keputusan saya jadi saya masih belum sepenuhnya memutuskan. Sebenarnya saya galau karena saya tidak ingin membuat keluarga saya malu kalau saya tidak berjilbab.

Tapi saat itu saya kembali dikatain “Jangan macem-macem ya. jangan sampai sudah penampilannya jelek, hatinya jelek juga.”

Saya dulu sempat jadi hilang percaya diri karena dikatain seperti itu. Sampai-sampai saya benci melihat wajah saya sendiri di depan cermin. “Emang sejelek itu ya sampai orang tua saya sendiri saja bilang hal seperti itu?”

Tapi kok kenyataannya, sewaktu saya pergi ke kantor dengan penampilan baru saya tanpa jilbab. Semua orang saya temui di kantor memuji saya kok. Dan mereka kelihatannya tulus. Bukan hanya untuk menyenangkan hati saya saja.

Apa mungkin saya ngga sejelek yang dikatakan ibu saya?

Tapi itu malah menjadi titik balik pemikiran saya.

There’s something wrong with her, not me.

I did my best. Saya sudah berusaha luar biasa keras. kalau beliau tidak bisa menerima diri saya apa adanya ya itu masalahnya. Bukan masalah saya.

“Jangan macem-macem ya. jangan sampai sudah penampilannya jelek, hatinya jelek juga.”

Satu kalimat itu yang malah bikin saya mantap untuk tidak perlu lagi memikirkan keluarga saya. Toh mereka pun tidak memikirkan keadaan saya disini. Kalau saya sampai celaka kena diskriminasi hanya karena mereka yang rugi ya saya sendiri. Untuk apa hidup cuma untuk terus-terusan memenuhi ekspektasi orang lain?

Lagipula, siapa yang bisa menilai hati orang lain? hanya Tuhan yang bisa. Setelah apa yang saya korbankan selama hidup saya untuk memenuhi ekspektasi mereka. Setelah apa yang saya lakukan supaya saya bisa jadi anak yang bisa dibanggakan selama bertahun-tahun. Saya ngga pernah nuntut finansial. Selama kuliah saya pun full beasiswa. Saya ngga pernah “menyusahkan” mereka juga. Cukup sudah saya memainkan peran sebagai anak penurut.

Kondisi mental saya kembali memburuk, kali ini akibat trauma masa kecil. Entah kenapa sejak saya menerima pesan WhatsApp itu, semua kilas balik trauma saya ketika kecil kembali bermunculan. Saya baru sadar bahwa keluarga saya itu luar biasa toxic ketika saya mimpi buruk berulang kali dengan tema yang sama yaitu “pulang ke Indonesia”

Karena sudah mengganggu kinerja saya dan sudah sampai ke tahap suicidal, akhirnya saya berobat ke psikolog. Setelah dua kali berganti psikolog dan bersesi-sesi terapi CBT akhirnya saya menemukan terapi forgiveness. Sampai saat ini saya masih menjalani terapi forgiveness untuk kesembuhan saya.

Satu hal yang saya pelajari selama masa-masa krisis hidup saya yaitu “tempatmu untuk pulang adalah dirimu sendiri”

--

--

Fristy Sato
Fristy Sato

Written by Fristy Sato

Inner Child & Manifestation Coach | Certified Trauma-Informed Coach | Certified Life Coach in NLP | Founder Conscio

No responses yet